Wednesday, September 8, 2010

Bait Kelana Jiwaku Bag 4 : "Java"

October 1st, 2009


Siang itu, aku mulai memberi tahu beberapa sahabat blogger dan plurker Jawa tentang keberangkatanku menuju Jogja. Yohang, Amhey, dan Pradna, cukup terkejut dengan rencana perantauanku itu. Namun, nampaknya mereka senang ada blogger yang akan menjadi penghuni baru Pulau Jawa. Terlihat dari SMS mereka, Yohang : `Wah wah ada apa ki Mbak? Sampai kapan? Mau kemana? (woot) Selamat datang di Jogja! :D Ada yang bisa dibantu mb? BTW kopi... (hungry)`, sounds happy right? :D Sedangkan SMS Pradna, `Selamat datang di tanah Jawa. Tpt bahasa raja-raja :D` 

Aku pun sebenarnya tak menyangka, akan tinggal dan berinteraksi dengan orang-orang yang memiliki kekentalan budaya semacam masyarakat Jawa. Aku tak bisa membayangkan, nantinya aku akan menempati pulau lonjong itu, menikmati kuliner yang kabarnya manis-manis (padahal aku lebih suka makanan yang asin), bersentuhan langsung dengan budaya dan tradisi Jawa yang unik, dan mendengarkan bahasa Jawa kental yang sama sekali tak ku mengerti namun selalu sukses mengocok perutku. Sebenarnya ada bahasa Jawa yang kupahami, namun hanya sebatas `piye kabare`, `ora opo-opo`, atau `yo wis`, dan kata-kata tidak berbobot lainnya. Ah, membayangkan seseorang sedang mengucapkan kata-kata itu saja sudah menggelitik perutku sedemikian rupa. :D

***

October 2nd, 2009

Bis yang kutumpangi mulai melaju di jalanan Jakarta. Gedung-gedung bertingkat menjulang tinggi, kendaraan-kendaraan yang melesat-lesat cepat seolah waktu akan membunuhnya, orang-orang hiruk-pikuk, sibuk. Waktu itu, sambil menatap nanar Kota Jakarta aku bergumam dalam hati, `Ah, untung saja aku hanya numpang lewat. Jakarta sepertinya memang bukan tempat yang cocok untukku`.

***


Gambar diambil dari sini

Siang itu bis berhenti di Cirebon, para penumpang dipersilakan untuk makan, sholat dan beristirahat sejenak setelah sekian lama terduduk di kursi malas yang disewa seharga angka-angka di tiket itu. Namun aku memanfaatkan waktu untuk mandi, gerah...! Seperti yang pernah kuceritakan padamu, teman. Pagar Alam adalah sebuah tempat yang sejuk (lebih tepatnya dingin :D). Setelah melewati beberapa kota besar, dengan udara panas dan berdebu, maka air yang mengguyur tubuh menjadi surga bagi rasa gerah itu. 

***

Hari beranjak malam. Para penumpang mulai terlelap, namun aku sulit membuat mata ini terpejam. Kadang aku berpikir, ini semua seolah mimpi. Sekonyong-konyong aku telah melewati kota-kota besar di Pulau Jawa. Jauh.... jauh dari kampung halamanku di seberang sana. Dan dalam beberapa jam ke depan, Kota Yogyakarta telah menantiku. Membayangkan peluang dan kemungkinan-kemungkinan yang akan kutemui di Jogja sana membuatku merasakan berupa-rupa sensasi yang sulit digambarkan. Ada begitu banyak tanda tanya di benakku. Dan tanda tanya terbesar adalah `Why Jogja?` Namun saat itu aku yakin, suatu saat aku akan menemukan jawabannya. Ya, pasti akan kutemukan jawabnya.

***


October 3rd, 2009


Pukul tiga dini hari, aku terbangun sebab angin dingin mulai menyergap. Aku tersadar belum sholat Isya'! Masya Allah... Namun, aku beruntung ternyata bis yang kutumpangi telah berada di Jogja! What a luck!


Sekitar pukul 3.30 bis berhenti di Pool, para penumpang turun dan berebutan mengambil barang-barang  yang telah diturunkan dari bagasi. Namun, saat itu aku hanya berkonsentrasi pada satu hal; sholat!


Kuamati sekitar, kulihat kondisi ruangan Pool bis ini, beberapa penumpang telah tertidur dan bergelimpangan di lantai, TV yang nampaknya selalu menyala, `Ah...sungguh tidak memungkinkan untuk sholat disini`, batinku. Lalu, dengan didorong kekuatan yang tiba-tiba datang (baca : intuisi), aku berjalan mencari masjid atau musholla sekitar situ. Dan... hanya beberapa puluh meter dari Pool, subhanallah... ada masjid! Alhamdulillah...


Aku lalu berlari-lari kecil dan masuk ke dalam masjid yang memiliki pelataran cukup luas itu. Dan ternyata, sudah ada beberapa jama'ah yang hadir. Beberapa ibu-ibu tua, kulihat sedang sholat. Sepertinya sholat Tahiyatul Masjid. Kemudian, aku meletakkan ransel gendutku sekenanya dan sholat.


Sehabis sholat, seorang ibu tua di sampingku tersenyum dan mengajak bersalaman. `Ah, ramah sekali`. Ibu itu memperhatikan ranselku dan keberadaanku sebagai seseorang yang asing, sepertinya ia tak kuat menahan keinginannya untuk bertanya, namun aku langsung menjawab rasa penasarannya, "Saya baru tiba dari Sumatera Bu, Palembang" (sambil tersenyum-senyum). Dan sang ibu (lebih tepatnya sih Mbah, karena sudah lumayan tua :D) menunjukkan sikap yang begitu santun pada seorang asing sepertiku. Aku memutuskan untuk menunggu waktu Subuh disini, layaknya ibu di sampingku ini.


Beberapa menit kemudian, jama'ah lainnya mulai berdatangan. Ibu-ibu yang baru datang menyalamiku, juga yang lain. Dan aku baru tersadar, ini lah budaya mereka. Sungguh keramahan yang tak kutemui di kampungku, di sana saling bersalaman biasanya dilakukan hanya seusai sholat. Aku juga mengagumi para jama'ah yang cukup ramai di waktu fajar ini, di saat orang-orang tengah asyik tertidur lelap. Aku beruntung bisa bertemu dengan rumah Allah yang satu ini.


Sehabis sholat Subuh, para jama'ah kembali saling bersalaman erat. Seorang ibu tua yang tadi menyapaku memberikan petuahnya, "Hati-hati di jalan ya, Nduk". `Ah, sejuk rasanya`. Keramahan dan kelembutan hatinya menyejukkan hatiku. Tiba-tiba tubuhku menghangat. Lalu, tanpa bisa berucap apa-apa, aku hanya bisa tersenyum dan mengangguk pada ibu itu.


***


Di hari pertamaku menginjak Kota Yogyakarta, aku telah menemukan sesuatu yang berbeda. Itu membuat jiwa petualanganku makin bergolak, kurva spiritnya menanjak. Oh iya, kuberi tahu satu hal, teman. Sungguh waktu itu aku tak sadar, bahwa waktu sholat telah jauh bergeser dari waktu sholat yang biasa kupakai di Pagar Alam. Telat beberapa menit saja, mungkin sholat Isya'ku itu tak laku. :D Hikmahnya adalah jangan berpetualang tanpa bekal ilmu geofisika yang cukup! :D


Sambil berjalan menuju Pool untuk menunggu jemputan seorang teman, aku bergumam riang, `Ah... Pulau Jawa tampaknya akan mengesankan hatiku`.


to be continued...

Tuesday, March 16, 2010

Bait Kelana Jiwaku Bag. 3 : "Rencana-rencana"

September 27th, 2009

Menyimpan suatu kabar gembira, memendamnya cukup lama, lalu menyampaikannya pada saat yang tepat, memang merupakan kebahagiaan tersendiri. Melihat merekahnya senyum, sepotong wajah yang cerah, gelegak tawa yang renyah, ah... sungguh menyenangkan. Namun yang terjadi kini adalah sebaliknya, kepalaku dipenuhi rencana-rencana yang akan mengejutkan semua orang. Dan aku tak mau senyum itu berubah sendu, cerah berubah gelap, tawa menjadi tangis. Cukup aku saja yang merasakannya. Karena itulah, lebih baik kusimpan erat-erat walau sungguh begitu berat.

Dalam diamku, aku telah merancang semua persiapanku untuk pergi ke Yogyakarta. Berbekal petuah dari seorang teman yang pernah kuliah disana, aku mulai merumuskan peta perjalananku nanti. Kota apa saja yang akan kulewati, pemberhentian bis, hal-hal yang mungkin akan kutemui, serta dimana aku akan tiba. Sebenarnya aku tak ingin pergi sendirian, apalagi tempat yang kutuju sama sekali awam bagiku. Mungkin ini semacam karma dari efek ketidakpedulianku akan ilmu geografi di masa-masa sekolah. Tapi, aku tak punya pilihan lain. Walau aku sendiri, aku begitu yakin... bahwa Allah akan melindungiku, bahwa tak ada satu pun kejadian yang terjadi di dunia ini tanpa seizin Allah SWT. Tak ada sehelai pun dedaunan yang jatuh, tanpa kehendak Allah.

***

Kota Pagar Alam, tujuh hari pasca lebaran, rata-rata masyarakatnya masih disibukkan dengan agenda silaturrahim dan resepsi pernikahan. Dingin sejuk udara paginya tak menyurutkan langkah untuk saling berkunjung di hari Ahad ini. Banyak ibu-ibu di jalan yang tengah membawa seekor ayam, pertanda bahwa ia tengah menuju ke rumah saudara atau teman yang akan mengadakan sedekah*). Banyak juga rombongan yang perempuannya memakai gaun kebaya serta berdandan, lalu laki-lakinya memakai baju batik dan peci, mereka juga akan menghadiri sedekah. Begitu banyak yang berduyun-duyun menghadiri pesta pernikahan. Seperti kami pagi ini, aku bersama tiga orang teman menghadiri Walimatul 'Ursy seorang sahabat. Ikut bahagia dengan kebahagiaannya, ikut mendoakan kebarokahan pernikahannya, ikut tertawa ceria dalam riang canda. Dan hari ini aku mulai belajar lupa. Melupakan kepiluan di hatiku, melupakan puting beliung yang sedang bertiup kencang di kepalaku. Melupakan wujud kesedihan yang harusnya menuai air mata. Aku tetap bersikap seperti biasa, saling bertegur sapa, bertukar cerita.

Hanya segelintir teman yang mengetahui rencana kepergianku ini. Dan aku tahu mereka pun terguncang dengan rencana gilaku. Tapi, keputusan yang telah kuambil tak dapat ditawar lagi. Azzamku sudah bulat. Apapun risikonya, akan kutenggak sekering-keringnya.

Di tengah hiruk-pikuk dan canda tawa teman-teman yang kujumpai, tanpa mereka tahu, aku terus berpikir keras. Memikirkan apa saja yang harus kulakukan sebelum meninggalkan Pagar Alam. Aku harus memikirkan semua detilnya, tak boleh ada satu pun yang terlupa. Karena aku pergi bukan untuk waktu yang singkat. Dan aku tak tahu kapan aku akan kembali lagi.


Aku mulai mengurainya satu persatu. Bisnis yang selama ini telah kurintis, harus kuhentikan. Pelanggan-pelanggan dengan sangat terpaksa harus kuabaikan. Siswa kursus harus kuberi pengertian, agar kelak ia mafhum kenapa tiba-tiba kursusnya kuhentikan. Komputer dan printer akan kujual dengan harga murah agar mudah terjual, hitung-hitung modal untuk membiayai hidup selama perantauanku nanti.

Aku juga harus memesan tiket, tiket menuju Yogyakarta. Menyiapkan barang apa saja yang harus kubawa, pakaian secukupnya, buku-buku tercinta, ijazah dan arsip-arsip penting, dan sebagainya.

Aku pun harus menjadwalkan, kapan harus mengembalikan amanah-amanah yang tengah kupikul. Amanah di BEM kampus yang tidak lama lagi akan mengadakan perhelatan besar, amanah di salah satu organisasi politik yang sama sekali tak ada penggantinya jika aku pergi, amanah di organisasi guide yang baru terbentuk, dan sebagainya. Mengumpulkan arsip-arsip dan surat-menyurat yang ada padaku, lalu berbagai macam soft files, semuanya harus kukumpulkan dan kukembalikan, tak boleh ada satu pun yang tercecer atau pun terlupa. Sebenarnya berat sekali, sungguh berat. Bukan ku bermaksud untuk meninggalkan amanah-amanah itu. Sungguh aku pun sedih. Namun aku tak punya pilihan lain, semua skenario Allah. Segunung maaf rasanya ingin sekali kutumpahkan. Tapi aku hanya bisa berharap, semoga yang kutinggalkan dapat memahami dan memaklumi keputusanku ini.

Kuliah pun, harus kuhentikan. Aku tak melihat kemungkinan bagiku untuk melanjutkan kuliah lagi. Akhirnya kuputuskan untuk mengundurkan diri. Aku harus membicarakan ini pada ketua program studi, lalu memberikan surat pengunduran diriku.

Lalu, aku pun harus berpikir keras. Kepada siapa saja aku akan berpamitan. Siapa saja yang akan kutemui untuk terakhir kalinya. Keluarga, sahabat dan teman dekat. Aku juga harus menjadwalkan, kapan aku akan menemui mereka sebelum keberangkatanku ke Yogyakarta.

Ah, rasanya seperti mimpi, tiba-tiba aku akan berpisah dengan mereka semua. Sekonyong-konyong aku harus pergi ke tempat yang sama sekali asing, bak dunia lain. Tapi aku harus tegar, kepalaku harus tetap tertegak, senyum harus tetap terukir. Dan aku harus bisa belajar melupakan banyak hal. Melupakan apa saja yang membuat hatiku remuk, lalu mengisinya dengan harapan-harapan baru serta keyakinan pada Allah. Bahwa Allah telah menyiapkan suatu rencana indah untukku di sana. Dan aku percaya, bahwa Allah akan memudahkan segala urusan hamba-hambaNya. Laa tahzan, innallaha ma'ana.


*)
Sedekah : Sebutan untuk rangkaian acara resepsi pernikahan.