Wednesday, September 8, 2010

Bait Kelana Jiwaku Bag 4 : "Java"

October 1st, 2009


Siang itu, aku mulai memberi tahu beberapa sahabat blogger dan plurker Jawa tentang keberangkatanku menuju Jogja. Yohang, Amhey, dan Pradna, cukup terkejut dengan rencana perantauanku itu. Namun, nampaknya mereka senang ada blogger yang akan menjadi penghuni baru Pulau Jawa. Terlihat dari SMS mereka, Yohang : `Wah wah ada apa ki Mbak? Sampai kapan? Mau kemana? (woot) Selamat datang di Jogja! :D Ada yang bisa dibantu mb? BTW kopi... (hungry)`, sounds happy right? :D Sedangkan SMS Pradna, `Selamat datang di tanah Jawa. Tpt bahasa raja-raja :D` 

Aku pun sebenarnya tak menyangka, akan tinggal dan berinteraksi dengan orang-orang yang memiliki kekentalan budaya semacam masyarakat Jawa. Aku tak bisa membayangkan, nantinya aku akan menempati pulau lonjong itu, menikmati kuliner yang kabarnya manis-manis (padahal aku lebih suka makanan yang asin), bersentuhan langsung dengan budaya dan tradisi Jawa yang unik, dan mendengarkan bahasa Jawa kental yang sama sekali tak ku mengerti namun selalu sukses mengocok perutku. Sebenarnya ada bahasa Jawa yang kupahami, namun hanya sebatas `piye kabare`, `ora opo-opo`, atau `yo wis`, dan kata-kata tidak berbobot lainnya. Ah, membayangkan seseorang sedang mengucapkan kata-kata itu saja sudah menggelitik perutku sedemikian rupa. :D

***

October 2nd, 2009

Bis yang kutumpangi mulai melaju di jalanan Jakarta. Gedung-gedung bertingkat menjulang tinggi, kendaraan-kendaraan yang melesat-lesat cepat seolah waktu akan membunuhnya, orang-orang hiruk-pikuk, sibuk. Waktu itu, sambil menatap nanar Kota Jakarta aku bergumam dalam hati, `Ah, untung saja aku hanya numpang lewat. Jakarta sepertinya memang bukan tempat yang cocok untukku`.

***


Gambar diambil dari sini

Siang itu bis berhenti di Cirebon, para penumpang dipersilakan untuk makan, sholat dan beristirahat sejenak setelah sekian lama terduduk di kursi malas yang disewa seharga angka-angka di tiket itu. Namun aku memanfaatkan waktu untuk mandi, gerah...! Seperti yang pernah kuceritakan padamu, teman. Pagar Alam adalah sebuah tempat yang sejuk (lebih tepatnya dingin :D). Setelah melewati beberapa kota besar, dengan udara panas dan berdebu, maka air yang mengguyur tubuh menjadi surga bagi rasa gerah itu. 

***

Hari beranjak malam. Para penumpang mulai terlelap, namun aku sulit membuat mata ini terpejam. Kadang aku berpikir, ini semua seolah mimpi. Sekonyong-konyong aku telah melewati kota-kota besar di Pulau Jawa. Jauh.... jauh dari kampung halamanku di seberang sana. Dan dalam beberapa jam ke depan, Kota Yogyakarta telah menantiku. Membayangkan peluang dan kemungkinan-kemungkinan yang akan kutemui di Jogja sana membuatku merasakan berupa-rupa sensasi yang sulit digambarkan. Ada begitu banyak tanda tanya di benakku. Dan tanda tanya terbesar adalah `Why Jogja?` Namun saat itu aku yakin, suatu saat aku akan menemukan jawabannya. Ya, pasti akan kutemukan jawabnya.

***


October 3rd, 2009


Pukul tiga dini hari, aku terbangun sebab angin dingin mulai menyergap. Aku tersadar belum sholat Isya'! Masya Allah... Namun, aku beruntung ternyata bis yang kutumpangi telah berada di Jogja! What a luck!


Sekitar pukul 3.30 bis berhenti di Pool, para penumpang turun dan berebutan mengambil barang-barang  yang telah diturunkan dari bagasi. Namun, saat itu aku hanya berkonsentrasi pada satu hal; sholat!


Kuamati sekitar, kulihat kondisi ruangan Pool bis ini, beberapa penumpang telah tertidur dan bergelimpangan di lantai, TV yang nampaknya selalu menyala, `Ah...sungguh tidak memungkinkan untuk sholat disini`, batinku. Lalu, dengan didorong kekuatan yang tiba-tiba datang (baca : intuisi), aku berjalan mencari masjid atau musholla sekitar situ. Dan... hanya beberapa puluh meter dari Pool, subhanallah... ada masjid! Alhamdulillah...


Aku lalu berlari-lari kecil dan masuk ke dalam masjid yang memiliki pelataran cukup luas itu. Dan ternyata, sudah ada beberapa jama'ah yang hadir. Beberapa ibu-ibu tua, kulihat sedang sholat. Sepertinya sholat Tahiyatul Masjid. Kemudian, aku meletakkan ransel gendutku sekenanya dan sholat.


Sehabis sholat, seorang ibu tua di sampingku tersenyum dan mengajak bersalaman. `Ah, ramah sekali`. Ibu itu memperhatikan ranselku dan keberadaanku sebagai seseorang yang asing, sepertinya ia tak kuat menahan keinginannya untuk bertanya, namun aku langsung menjawab rasa penasarannya, "Saya baru tiba dari Sumatera Bu, Palembang" (sambil tersenyum-senyum). Dan sang ibu (lebih tepatnya sih Mbah, karena sudah lumayan tua :D) menunjukkan sikap yang begitu santun pada seorang asing sepertiku. Aku memutuskan untuk menunggu waktu Subuh disini, layaknya ibu di sampingku ini.


Beberapa menit kemudian, jama'ah lainnya mulai berdatangan. Ibu-ibu yang baru datang menyalamiku, juga yang lain. Dan aku baru tersadar, ini lah budaya mereka. Sungguh keramahan yang tak kutemui di kampungku, di sana saling bersalaman biasanya dilakukan hanya seusai sholat. Aku juga mengagumi para jama'ah yang cukup ramai di waktu fajar ini, di saat orang-orang tengah asyik tertidur lelap. Aku beruntung bisa bertemu dengan rumah Allah yang satu ini.


Sehabis sholat Subuh, para jama'ah kembali saling bersalaman erat. Seorang ibu tua yang tadi menyapaku memberikan petuahnya, "Hati-hati di jalan ya, Nduk". `Ah, sejuk rasanya`. Keramahan dan kelembutan hatinya menyejukkan hatiku. Tiba-tiba tubuhku menghangat. Lalu, tanpa bisa berucap apa-apa, aku hanya bisa tersenyum dan mengangguk pada ibu itu.


***


Di hari pertamaku menginjak Kota Yogyakarta, aku telah menemukan sesuatu yang berbeda. Itu membuat jiwa petualanganku makin bergolak, kurva spiritnya menanjak. Oh iya, kuberi tahu satu hal, teman. Sungguh waktu itu aku tak sadar, bahwa waktu sholat telah jauh bergeser dari waktu sholat yang biasa kupakai di Pagar Alam. Telat beberapa menit saja, mungkin sholat Isya'ku itu tak laku. :D Hikmahnya adalah jangan berpetualang tanpa bekal ilmu geofisika yang cukup! :D


Sambil berjalan menuju Pool untuk menunggu jemputan seorang teman, aku bergumam riang, `Ah... Pulau Jawa tampaknya akan mengesankan hatiku`.


to be continued...

Tuesday, March 16, 2010

Bait Kelana Jiwaku Bag. 3 : "Rencana-rencana"

September 27th, 2009

Menyimpan suatu kabar gembira, memendamnya cukup lama, lalu menyampaikannya pada saat yang tepat, memang merupakan kebahagiaan tersendiri. Melihat merekahnya senyum, sepotong wajah yang cerah, gelegak tawa yang renyah, ah... sungguh menyenangkan. Namun yang terjadi kini adalah sebaliknya, kepalaku dipenuhi rencana-rencana yang akan mengejutkan semua orang. Dan aku tak mau senyum itu berubah sendu, cerah berubah gelap, tawa menjadi tangis. Cukup aku saja yang merasakannya. Karena itulah, lebih baik kusimpan erat-erat walau sungguh begitu berat.

Dalam diamku, aku telah merancang semua persiapanku untuk pergi ke Yogyakarta. Berbekal petuah dari seorang teman yang pernah kuliah disana, aku mulai merumuskan peta perjalananku nanti. Kota apa saja yang akan kulewati, pemberhentian bis, hal-hal yang mungkin akan kutemui, serta dimana aku akan tiba. Sebenarnya aku tak ingin pergi sendirian, apalagi tempat yang kutuju sama sekali awam bagiku. Mungkin ini semacam karma dari efek ketidakpedulianku akan ilmu geografi di masa-masa sekolah. Tapi, aku tak punya pilihan lain. Walau aku sendiri, aku begitu yakin... bahwa Allah akan melindungiku, bahwa tak ada satu pun kejadian yang terjadi di dunia ini tanpa seizin Allah SWT. Tak ada sehelai pun dedaunan yang jatuh, tanpa kehendak Allah.

***

Kota Pagar Alam, tujuh hari pasca lebaran, rata-rata masyarakatnya masih disibukkan dengan agenda silaturrahim dan resepsi pernikahan. Dingin sejuk udara paginya tak menyurutkan langkah untuk saling berkunjung di hari Ahad ini. Banyak ibu-ibu di jalan yang tengah membawa seekor ayam, pertanda bahwa ia tengah menuju ke rumah saudara atau teman yang akan mengadakan sedekah*). Banyak juga rombongan yang perempuannya memakai gaun kebaya serta berdandan, lalu laki-lakinya memakai baju batik dan peci, mereka juga akan menghadiri sedekah. Begitu banyak yang berduyun-duyun menghadiri pesta pernikahan. Seperti kami pagi ini, aku bersama tiga orang teman menghadiri Walimatul 'Ursy seorang sahabat. Ikut bahagia dengan kebahagiaannya, ikut mendoakan kebarokahan pernikahannya, ikut tertawa ceria dalam riang canda. Dan hari ini aku mulai belajar lupa. Melupakan kepiluan di hatiku, melupakan puting beliung yang sedang bertiup kencang di kepalaku. Melupakan wujud kesedihan yang harusnya menuai air mata. Aku tetap bersikap seperti biasa, saling bertegur sapa, bertukar cerita.

Hanya segelintir teman yang mengetahui rencana kepergianku ini. Dan aku tahu mereka pun terguncang dengan rencana gilaku. Tapi, keputusan yang telah kuambil tak dapat ditawar lagi. Azzamku sudah bulat. Apapun risikonya, akan kutenggak sekering-keringnya.

Di tengah hiruk-pikuk dan canda tawa teman-teman yang kujumpai, tanpa mereka tahu, aku terus berpikir keras. Memikirkan apa saja yang harus kulakukan sebelum meninggalkan Pagar Alam. Aku harus memikirkan semua detilnya, tak boleh ada satu pun yang terlupa. Karena aku pergi bukan untuk waktu yang singkat. Dan aku tak tahu kapan aku akan kembali lagi.


Aku mulai mengurainya satu persatu. Bisnis yang selama ini telah kurintis, harus kuhentikan. Pelanggan-pelanggan dengan sangat terpaksa harus kuabaikan. Siswa kursus harus kuberi pengertian, agar kelak ia mafhum kenapa tiba-tiba kursusnya kuhentikan. Komputer dan printer akan kujual dengan harga murah agar mudah terjual, hitung-hitung modal untuk membiayai hidup selama perantauanku nanti.

Aku juga harus memesan tiket, tiket menuju Yogyakarta. Menyiapkan barang apa saja yang harus kubawa, pakaian secukupnya, buku-buku tercinta, ijazah dan arsip-arsip penting, dan sebagainya.

Aku pun harus menjadwalkan, kapan harus mengembalikan amanah-amanah yang tengah kupikul. Amanah di BEM kampus yang tidak lama lagi akan mengadakan perhelatan besar, amanah di salah satu organisasi politik yang sama sekali tak ada penggantinya jika aku pergi, amanah di organisasi guide yang baru terbentuk, dan sebagainya. Mengumpulkan arsip-arsip dan surat-menyurat yang ada padaku, lalu berbagai macam soft files, semuanya harus kukumpulkan dan kukembalikan, tak boleh ada satu pun yang tercecer atau pun terlupa. Sebenarnya berat sekali, sungguh berat. Bukan ku bermaksud untuk meninggalkan amanah-amanah itu. Sungguh aku pun sedih. Namun aku tak punya pilihan lain, semua skenario Allah. Segunung maaf rasanya ingin sekali kutumpahkan. Tapi aku hanya bisa berharap, semoga yang kutinggalkan dapat memahami dan memaklumi keputusanku ini.

Kuliah pun, harus kuhentikan. Aku tak melihat kemungkinan bagiku untuk melanjutkan kuliah lagi. Akhirnya kuputuskan untuk mengundurkan diri. Aku harus membicarakan ini pada ketua program studi, lalu memberikan surat pengunduran diriku.

Lalu, aku pun harus berpikir keras. Kepada siapa saja aku akan berpamitan. Siapa saja yang akan kutemui untuk terakhir kalinya. Keluarga, sahabat dan teman dekat. Aku juga harus menjadwalkan, kapan aku akan menemui mereka sebelum keberangkatanku ke Yogyakarta.

Ah, rasanya seperti mimpi, tiba-tiba aku akan berpisah dengan mereka semua. Sekonyong-konyong aku harus pergi ke tempat yang sama sekali asing, bak dunia lain. Tapi aku harus tegar, kepalaku harus tetap tertegak, senyum harus tetap terukir. Dan aku harus bisa belajar melupakan banyak hal. Melupakan apa saja yang membuat hatiku remuk, lalu mengisinya dengan harapan-harapan baru serta keyakinan pada Allah. Bahwa Allah telah menyiapkan suatu rencana indah untukku di sana. Dan aku percaya, bahwa Allah akan memudahkan segala urusan hamba-hambaNya. Laa tahzan, innallaha ma'ana.


*)
Sedekah : Sebutan untuk rangkaian acara resepsi pernikahan.

Tuesday, November 24, 2009

Bait Kelana Jiwaku Bag. 2 : "What A Big Decision"

September 25th, 2009

Langit seolah runtuh. Bumi seolah berhenti berputar. Gunung dan bukit seakan terbalik. Ujian itu begitu menghentak. Mencabik! Menyayat hati.

Aku dilanda berupa-rupa sensasi yang sangat tidak mengenakkan, semacam *juice* segar penghancur hati. Sulit memuntahkannya. Tak sanggup mengurainya.

Sesaat aku berharap ini semua mimpi, dan aku ingin cepat-cepat terbangun. Tapi, harapan semu itu hanya menambah rasa sakit dan membuatku kerdil menghadapi realita.

Saat ku berusaha mencari solusi, aku dihadapkan pada pilihan yang begitu berat... Dan Allah menunjukkan jalan padaku untuk memilih solusi yang sama sekali tak pernah terlintas di benakku; merantau ke Yogyakarta. Allah membuat kondisi seolah tak ada jalan lain yang lebih baik bagiku kecuali merantau.

Merantau??? Aku harus meninggalkan Pagar Alam??? Oh, no...!!! Membayangkan konsekuensi bila aku mengambil keputusan itu, membuat kepalaku serasa pecah, membuat hatiku semakin tertekan dan sedih. Tapi, aku tak melihat pilihan solusi lain, sedangkan aku harus cepat mengambil keputusan. Keputusan terbesar yang pernah kuambil seumur hidupku...


September 26th, 2009

Semalaman aku tak bisa tidur. Tak pernah aku merasakan hal seperti ini, hati yang galau, terhenyak, gamang, perih. Hasil istikaharahku semalam, membuatku semakin yakin untuk mengambil keputusan. Ya... aku akan merantau ke Yogyakarta. Entah kenapa Allah membuat skenario ini untukku. Tapi yang pasti... aku berprasangka baik pada Allah bahwa ini adalah sebuah cara Allah untuk mendidikku, untuk membuatku lebih dekat padaNya.

Sungguh berat mengambil keputusan ini. Konsekuensinya sungguh tak tertanggungkan. Aku harus meninggalkan amanah-amanah yang sedang kujalani; menjadi panitia OPDIK kampus yang sebentar lagi akan dilaksanakan, tugasku sebagai Bendahara Pelaporan di suatu organisasi politik, amanah di Asosiasi Guide yang baru saja terbentuk, dan seterusnya. Lalu, bisnis yang belum lama ku rintis. Masya Allah... aku harus mengikhlaskan cita-citaku untuk menjadi pengusaha sukses di Pagar Alam. Kuliah... juga harus ku tinggalkan. Teman-teman, sahabat, keluarga, orangtua... masya Allah, sungguh berat rasanya meninggalkan mereka. Ditambah lagi, aku sama sekali asing dengan pulau Jawa. Seumur-umur aku hanya wara-wiri seputar Sumatera Selatan saja. Dan, aku harus pergi sendirian... Menuju ke tempat yang sama sekali tak terbayangkan olehku, budaya di sana seperti apa, orang-orang yang ku temui seperti apa... Sama sekali tak terbayangkan dan tak terpikirkan olehku.

Tapi, keputusan ini harus ku ambil. Aku harus siap dengan segala konsekuensi yang akan muncul. Aku harus tegas pada diriku sendiri. Dan aku harus tetap berpikir positif dan logis dalam menghadapi ini semua. Aku yakin... Allah takkan menguji di luar batas kemampuan hambaNya.

Aku tahu... walau berat (berat bagiku, berat pula bagi yang ku tinggalkan), aku harus tegar... aku harus menguatkan diri. Aku yakin, suatu hari nanti aku akan memahami, apa yang ingin Allah tunjukkan di balik keputusan besar ini.

to be continued

Monday, November 23, 2009

Bait Kelana Jiwaku Bag. 1 : "Jauh dan Semakin Jauh"

Teman, sebelum membaca tulisanku ini, ada baiknya kujelaskan sedikit. Sebenarnya, aku sungkan menceritakan kisah dan petualanganku, karena begitu banyak hal, peristiwa dan perjalanan yang bersifat pribadi. Tapi, karena *paksaan* dan motivasi dari teman-teman, insya Allah aku akan membaginya dengan kalian sebagai bahan sharing dan inspirasi. Tentunya, aku tidak bisa menceritakan semuanya secara detail karena ada hal-hal yang tak bisa kuceritakan di sini. At least, tulisan bersambung ini akan bisa menjadi ekspresi jiwaku yang sedang berkelana. Dan semoga, teman-teman sekalian dapat mengambil hikmah dan manfaat dari ceritaku, amiin. ;)

By the way, karena tulisan ini bersambung, mohon maaf dan harap bersabar ya... jika nanti kalian agak lama menunggu kelanjutannya. Maklum, saya menulis sesuai mood dan kehendak hati :D Selamat membaca ^_^

***


Pagar Alam, October 1st, 2009.

07.30 AM
Pagi ini aku pucat, sedih, pilu. Rasanya tidak mungkin aku akan meninggalkan Pagar Alam, sebuah tempat yang sangat kucintai, juga selalu kukagumi. Pagar Alam, tempat kelahiranku, tempat di mana aku dibesarkan, tempat di mana aku pernah merasakan pahit manisnya hidup, merasakan indahnya ukhuwah, merasakan semangat berorganisasi, merasakan indahnya hentakan irama hidupku, merasakan semuanya... Sungguh, ini adalah sebuah kenyataan yang pahit bagiku, karena sama sekali tak pernah terpikir olehku untuk pergi merantau ke pulau seberang, mencari diri... menemukan potongan-potongan mozaik hidupku yang mungkin telah tertambat di sana.

Dulu pernah tercetus dalam hatiku, "Ah, kenapa sih orang-orang pada suka merantau? Memangnya di kampung sendiri ga ada lahan rizki apa?" Tapi, sekarang aku seperti menjilat ludah sendiri, nyatanya aku pun merantau... Aku selalu berpikir, bahwa Pagar Alam adalah sebuah tempat yang begitu nyaman untuk ditinggali. Pagar Alam adalah sebuah kota kecil yang menakjubkan... Aku tidak melebih-lebihkan Pagar Alam karena ia adalah kota kelahiranku, bukan. Tapi, karena memang begitulah adanya. Pagar Alam adalah sebuah kota kecil yang terletak di bagian Selatan pulau Sumatera, berbatasan dengan Kab. Manna' Bengkulu Selatan, dengan atmosfer yang sangat bersahabat belum terjamah polutan, masyarakat pedesaan yang rata-rata mata pencahariannya petani dan pekebun, perkampungan penduduk yang dikelilingi bukit indah berlapis-lapis, Gunung Dempo yang tinggi indah menjulang dengan perkebunan tehnya yang menghampar seluas mata memandang, Sungai Lematang Indah yang sejuk dan jernih, puluhan air terjun yang menawarkan pesona keindahannya, udara yang bersih sejuk penuh oksigen, and so on...Ah, begitu menakjubkan...

Aku begitu gamang, bukan hanya karena akan meninggalkan Kota Pagar Alam. Tetapi, juga meninggalkan bisnis yang selama ini telah kurintis, kuliah dan organisasi kampus, amanah-amanah yang sebenarnya masih membutuhkan diriku, sahabat-sahabatku, keluargaku, orangtuaku, cita-citaku, semuanya...

Belum juga kaki ini melangkah ke luar rumah, rasa rindu itu telah mulai membuncah. Batinku menggumam, 'Ya Rabb... bantulah hamba mengatasi rasa rindu yang nantinya akan mendera diri ini'.

08.30 AM
Aku bersiap-siap. Ku coba menyingkirkan rasa-rasa yang membuat hatiku pedih. Ku coba menegakkan kepala, mengukir senyum, meneguhkan langkah. Setengah jam lagi adalah jadwal keberangkatanku, aku berharap... semoga semua yang kutinggalkan akan ikhlas menerima kepergianku ini.



09.00 AM
Petugas mulai mengecek barang-barang bawaan penumpang. Para penumpang dan keluarga yang mengantar saling berucap kata-kata perpisahan, tak lupa mengungkap kata-kata penyemangat dan doa. Sahabat yang mengantarku, ku lihat matanya mulai berkaca-kaca. Aku hanya terdiam, tersenyum dan membatin, 'Jangan kawan... jangan kau menangis di sini, nanti akan tumpah pula air mataku...' Ia menatapku lama dan dalam. Aku tahu ia sadar... bahwa aku pergi bukan untuk sebulan dua bulan. Aku pergi bukan pula untuk jalan-jalan, tapi menghadapi perjalanan dan petualangan yang penuh tantangan dan marahabahaya. Karena aku pergi sendirian, tak ada teman atau pun kerabat, hanya Allah SWT yang menemaniku. Walau gamang hatiku, aku yakin... Allah akan senantiasa melindungi dan menjaga hamba-hambaNya.

Perpisahan memang selalu menyisakan duka, walau hanya sementara, bukan berarti takkan bertemu lagi. Kami berpamitan, walau berat mengucap kata perpisahan. Lalu, ia menyodorkan sebuah amplop padaku. Aku sempat mengelak, namun aku tahu... dia pasti memaksaku untuk menerimanya, selain itu aku juga menyadari bahwa aku memang akan membutuhkannya di rantau nanti. Kuucapkan terima kasih, lalu kami berpelukan. Ia pun langsung pamit, karena ada urusan penting yang harus diselesaikan.

Beberapa saat kemudian, barang-barang penumpang mulai dinaikkan satu persatu ke bagasi bis, Bis Sinar Dempo yang akan menjadi rumahku di perjalanan selama dua hari dua malam menuju kota Yogyakarta. Para penumpang semakin memadati tempat parkir bis yang akan ditumpangi. Lalu penumpang mulai diabsen satu persatu sesuai dengan nomor kursi yang telah dipesan. Dan tibalah giliranku, sambil melangkah aku meneguh-neguhkan hati sambil menghela napas panjang, 'Ya Allah... kuatkan aku.'

Mentari pagi mulai meninggi, menghangatkan seluruh sudut kota Pagar Alam. Di tengah hiruk pikuk penumpang yang tengah sibuk mempersiapkan diri sebelum bis melaju, aku dilanda suatu sensasi yang sebelumnya tak pernah kurasakan. Aku dilanda sindrom seolah waktu berjalan begitu lambat. Sang supir mulai bersiap-siap, mesin bis mulai dinyalakan, dan aku begitu gamang... Pagar Alam akan segera kutinggalkan. Di luar bis ku lihat, para pengantar sedang berlambaian tangan sambil tersenyum kepada para kerabat dan keluarga mereka. Sekilas ada rasa sedih menyeruak... tapi lekas-lekas ku tepis, 'Tidak! Aku harus kuat! Allah will be by your side!' tegasku kepada diri sendiri.

Lalu bis pun mulai melaju, aku mengucap rangkaian do'a dan dzikir. Setiap tarikan nafas yang ku hirup terasa begitu berat, aku hanya bisa menikmati saat-saat terakhir melewati jalanan ini. Entah kapan aku akan kembali lagi ke sini. Semakin besar jarak memisahkanku dengan Pagar Alam, hatiku hampa. Aku hanya berusaha menikmati saat-saat terakhir hirupan udara segar Pagar Alam. Menatapi lekat-lekat pemandangan sawah hijau membentang yang kulewati, air terjun itu, bukit-bukit nan biru itu, jurang-jurang dan kelokan jalan yang indah itu, membuat hatiku semakin hampa. Sekonyong-konyong, tak terasa bumi Pagar Alam mulai hilang dari pandanganku, jauh... dan semakin jauh.

to be continued...